BPKH Wilayah VII Makassar Sosialisasi Batas Kawasan Hutan Kota Palopo


Laporan: Hajar Alfarisy

DSC09395
Sosialisasi Batas Kawasan Hutan

Palopo (Perkumpulan Wallace).  Badan Pemantapan Kawasan Hutan ( BPKH ) bersama Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Kehutanan Kota Palopo melaksanakan Sosialisasi Batas Kawasan Hutan  di Kantor Kelurahan Padang Lambe, Kecamatan Wara Barat (12/06/13).

Hadir dalam acara tersebut Heru Sri Widodo, S.Si.,M.Si. dari BPKH, Amri dari Dishut Provinsi Sulsel, Kadishutbun Kota Palopo, Andi Hamiruddin. Hadir juga Tokoh masyarakat serta LSM pemerhati Lingkungan  seperti Perkumpulan Wallacea, dan AMAN Tana Luwu.

Dalam sambutannya, Kadishut Kota Palopo, Ir. Hamiruddin mengatakan, sosialisasi batas kawasan hutan dilakukan untuk memperjelas serta memberi pemahaman kepada masyarakat tentang batas kawasan hutan. Selain itu,   diharapkan menghindari konflik yang sering terjadi antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurut Hamiruddin, sangat perlu melakukan rekonstruksi tata batas kawasan hutan karena batas batas kawasan itu belum jelas. Bahkan misalnya, di Kecamatan Telluwanua ada kawasan hutan produksi tetapi belum pernah dilakukan penata batasan kawasan sehingga tidak ada kejelasan batas.

Sementara, BPKH Wilayah VII Makassar, Ir. Heru Widodo memaparkan  sangat perlu adanya kepastian kawasan hutan, namun selain itu ada hal lain yang menunjukkan mantapnya suatu kawasan hutan yaitu terbebas dari konflik jangka panjang. Penatagunaan batas kawasan hutan dilakukan karena tumpang tindihnya pengelolaan kawasan hutan.

Lebih lanjut, Heru menjelaska,  mekanisme penataan batas kawasan hutan harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan. “Saat ini era demokrasi dimana masyarakat memilki kesempatan untuk berpartisipasi” lanjutnya.

Penyampaian Heru Widodo mendapat banyak tanggapan dari peserta.  To’ Matua To’ Jambu, Ayyub adalah salah seorang peserta yang sangat antusias menanggapi.

Menurut Ayyub, keberadaan masyarakat Battang Barat sudah sejak lama. “Jangan katakan kami merambah hutan di atas. Yang ada itu bahwa daerah yang rawan longsor tersebut dikelola oleh petani berdasi.  Kami tidak pernah dilibatkan dalam kesepakatan penetuan kawasan hutan tersebut. Kebijakan tersebut dilakukan secara sepihak oleh  BKSDA dan menghilangkan hak masyarakat,” tegas Ayyub dihadapan peserta sosialisasi.

Zaenal Ahmadi menjelaskan sebab terjadinya konflik antara kehutanan dan masyarakat di Battang Barat karena penata batasan sepihak itu. ‘’Yang harus dilakukan adalah inventarisasi lahan pihak ketiga karena selama ini pemerintah dalam hal ini pihak kehutanan belum pernah melakukan invertarisasi pihak ketiga,’’ ungkap Ketua LPMK Battang Barat ini yang akrab dipanggil Pak Wiwi.

Tanggapan lain juga datang dari tokoh masyarakat Desa Lemarrang Nene’ Mungkasa. ‘’Kami sejak era kemerdekaan belum menikmati kemerdekaan kami, bahkan tanaman cengkeh kami rusak karena kami merasa terancam ketika bekerja,’’ungkapnya.

Menanggapi penyampaiaan masyarakat, Heru Widodo menyampaikan bahwa pemerintah daerah memiliki peranyang sangat besar dalam memperhatikan aspirasi masyarakat. ‘’Setiap 5 tahun sekali ada revisiperaturan tata ruang kota. ‘’Pengajuan itu dilakukan nanti pada Tahun 2014 dengan memberikan data-data pendukung seperti keberadaan fasilitas sosial, keberadaan kampung sehingga akan mendapat skoring untuk pertimbangan pembebasan kawasan. Pernyataan warga juga mendapat tanggapan dari dinas kehutanan. Ke depan perlu ada rekonstruksi ulang,” tukasnya.

Hamsaluddin yang juga Koordinator Divisi PA/PSDA Perkumpulan Wallacea, menyampaikan, apa yang terjadi berupa konfllik ditingkat masyarakat dengan BKSDA dikarenakan adanya kebijakan yang tidak partisipatif, kebijakan yang mengabaikan aspirasi masyarakat. Misalnya saja penetapan kawasan hutan itu pada Tahun 1994, sementara masyarakat  berada di daerah kawasan hutan  jauh sebelum penetapan itu sehingga nampak dominasi pemerintah yang mengabaikan masyarakat. ‘’Pemerintah harus pro aktif dan mampu membaca kebutuhan kebutuhan yang berkembang dimasyarakat,’’ simpulnya.