Laporan: Hajar Alfarisy dari Kunjungan Belajar di Desa Tungka Kecamatan Enrekang
Perkumpulan Wallacea. Kunjungan belajar Perkumpulan Wallacea bersama masyarakat dataran tinggi Kota Palopo langsung mengarah ke Desa Tungka Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang (Kamis, 27/06/13). Sebuah desa yang berada di wilayah dataran tinggi dan barisan pegunungan Massenrengpulu.
Setahun yang lalu, di desa ini warga mulai antusias mengembangkan usaha ternak sapi perah dan mengembangkan tanaman rumput gajah untuk kebutuhann pakan sapinya. Tidak hanya itu, ternyata warga Desa Tungka mulai merajut kemandirian energi dengan memanfaatkan kotoran sapi untuk biogas yang keperluan memasak setiap hari. Meski belum menyeluruh, akan tetapi sudah inisiatif untuk mandiri energi.
Kunjungan kali ini, rombongan belajar langsung proses kotoran sapi perah dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan gas. Rumah yang kami tuju yaitu rumah Hasran, salah seorang warga Desa Tungka yang sudah memanfaatkan kotoran sapi untuk biogas yang berasal dari reaktor biogas. Bangunan menyerupai ‘kubah’ itu ditimbun di belakang rumah.
Hasran yang juga mantan Kades Tungka ini menjelaskan, dari sembilan ekor sapi yang dipelihara bisa menghasilkan sekitar 7 kubik kotoran per hari. Kotoran ternak inilah mengandung metana yang bisa menghasilkan gas dengan nyala biru yang tidak kalah dengan nyala gas elpiji.
“Penggunaan biogas ini memberikan manfaat tersendiri bagi keluarga saya. Gas dari kotoran sapi sudah saya gunakan untuk memask kebutuhan sehari-hari,’’ ungkap Hasran kepada rombongan sambil menyebut kalaui dulunya dia belajar biogas di Palopo.
Selain biogas, produksi utama sapi perah peliharaan Hasran bisa menghasikan minimal 10 liter susu per hari jika masih produktif. Susu sapi tersebut dibuat Dangke (semacam keju hasil fermentasi dari susu sapi). Proses pembuatan sebuah dangke dengan cara memasak susu sapi lalu ditambahkan beberapa tetes getah pepaya sampai susunya mengental dan dipisahkan dari air. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan yang terbuat dari tempurung kelapa. Harga jual setiap dangke dibandrol Rp 15.000. Selain bisa dikonsumsi secara langsung setelah digoreng atau dimasak, dangke juga bisa bikin keripik.
Dari perhitungan penghasilan keluarga Hasran, jika setiap sapi dapat menghasilkan 10 liter susu, maka produksi susu perhari dari 9 ekor sapi miliknya sebanyak 90 liter. Kalau satu seperempat liter bisa menghasilkan satu dangke , berarti Hasran mampu menghasilkan 72 dangke setiap harinya dengan harga Rp 15.000 per-dangke. Dari sini sudah bisa dihitung penghasilan Hasran setiap hari yaitu Rp 108.000.
Bagi keluarga Hasran, pemanfaatan biogas ini sangat membantu karena tidak lagi susah-susah mengeluarkan sedikit-pun biaya membeli gas elpiji sebagai bahan bakar pembuatan dangke.
Konsekuensi dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat eksploitatif yang berlebihan dan pencemaran lingkungan menempatkan ekosistem dalam posisi bahaya. Realitas yang terjadi dan paling dirasakan adalah terabaikannya aspek kelestarian dan keberlanjutan Sumberdaya Alam akibat dari pemanfaatan yang berorientasi pada aspek peningkatan ekonomi / investasi. Sementara masyarakat yang hidup dengan menggantungkan hidupnya dari potensi kekayaan Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati tidak pernah luput dari persoalan kemiskinan dan keterbelakangan.
desain modis logo-2Kepentingan pemanfaatan dengan mudah bisa saja berbelok menjadi eksploitasi sementara kesadaran dan komitmen Pelestarian Sumberdaya Alam sulit untuk dipastikan, yang berdampak pada harmonisasi kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya semakin jauh dari harapan.
Sementara eksistensi kearifan tradisional belum mendapat tempat yang setara dalam paradigma pembangunan yang dikembangkan selama ini, bahkan kecenderungannya terjadi stagnasi yang sengaja diciptakan untuk melemahkan dan mengisolir paradigma yang bertumpu pada kearifan tradisional dalam struktur social, ekonomi, politik, hukum dan kelembagaan yang mengakibatkan terjadinya proses penghancuran kearifan-kearifan tradisional yang ditandai dengan perubahan tatanan social humanis, kemiskinan moral, serta sipat dan sikap ketergantungan yang bermuara pada hilangnya kemandirian dan terdegragasikannya Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati sebagai pendukung kehidupan manusia.
Berangkat dari perspektif dan realitas tersebut memotivasi munculnya suatu keinginan dari beberapa kalangan Non Goverment Organization (NGO), Mahasiswa, Masyarakat serta Akademisi untuk mengaktualisasikan keprihatinan dan kepeduliannya dalam bentuk karya nyata. Kesadaran akan hal tersebut menjadi pijakan yang mendasari terbentuknya WALLACEA sebagai suatu institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas.
Perspektif dan realitas tersebut memotivasi munculnya suatu keinginan dari beberapa kalangan Non Goverment Organization (NGO), Mahasiswa, Masyarakat serta Akademisi untuk mengaktualisasikan keprihatinan dan kepeduliannya dalam bentuk karya nyata. Kesadaran akan hal tersebut menjadi pijakan yang mendasari terbentuknya WALLACEA sebagai suatu institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas.
WALLACEA didirikan pada Tanggal 05 Juni 2000, berkedudukan di Kabupaten Luwu atau lebih akrab dikenal dengan nama Bumi Sawerigading yang kemudian di Akta Notariskan pada Tanggal 04 Januari 2001 dengan Nomor Akta 11 oleh Rahayu Sri Dewi, SH, Candidat Notaris pada Kantor Notaris – PPAT Zirmayanto, SH. Dalam perjalanannya WALLACEA kemudian berubah menjadi sebuah perkumpulan yang selanjutnya disebut Perkumpulan WALLACEA Palopo berdasarkan hasil rapat pengurus tertanggal, 15 dan 18 Mei 2010. Hal ini didasari atas perkembangan dan dinamika organisasi yang sekaligus untuk lebih membuka ruang bagi keterlibatan berbagai kalangan serta terciptanya akuntabilitas organisasi
Lihat semua pos dari PERKUMPULAN WALLACEA
dari kunjungan belajar ini, adakah rencana tindak lanjut dari masyarakat.
SukaSuka