(PALOPO, WALLACEA)_ Selasa 14 April 2015, Bersama Lurah Battang Barat Andi Asnawi Sari dan Tomatoa To’ Jambu Ayyub, Perkumpulan Wallacea melakukan Penyerahan Dokumen Usulan Pelepasan/Perubahan Status Kawasan Hutan Konservasi Nanggala III dalam Skema Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan. Penyerahan dokumen ini dilakukan secara resmi di Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo. Dokumen ini merupakan usulan masyarakat untuk pelepasan kawasan konservasi Nanggala III di wilayah Komunitas To’ Jambu, Kelurahan Battang Barat seluas 235 Ha menjadi Areal Penggunaan lain ( APL ). Dokumen pengusulan tersebut berisi lokasi wilayah kelola, pemukiman serta tempat pembangunan fasilitas umum. Melalui dokumen ini, diharapakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo dapat menjadikannya sebagai rujukan dalam melakukan Revisi RTRW Kota Palopo. “Data yang kami serahkan ini adalah hasil musyawarah masyarakat, ada wilayah yang memang dianggap masyarakat tidak bisa dikelola, termasuk kebun orang luar itu tetap akan dijadikan sebagai kawasan hutan,” ujar Hamsaluddin Koordinator Divisi Pembaruan Agraria (PA) Perkumpulan Wallacea.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kodrat Rippi mengatakan, penyerahan dokumen ini akan ditindak lanjuti, sebab memang kami bekerja berdasarkan usulan dan masukan dari masyarakat. “Sebelumnya memang hal ini sudah pernah kami bahas, tetapi Pemerintah Kota Palopo terkendala masalah anggaran, tahun ini sudah bisa karena ada anggaran dari Pusat, Provinsi dan Daerah. Data ini akan kami jadikan pertimbangan,”tutupnya. “Semoga Pemkot Palopo dapat mengakomodir usulan dari masyarakat, sehingga masayarakat To’ Jambu dan Pemkot bisa merasakan manfaat dari pembangunan partisipatif. Memang pemerintah sudah memilki luasan wilayah yang mau dilepaskan, namun dokumen ini akan membantu memandu pemerintah dalam menentukan yang mana wilayah yang patut dikeluarkan berdasarkan pada kepentingan masyarakat dan kepentingan konservasi,”kata Basri Andang Direktur Eksekutif Perkumpulan Wallacea Palopo. (Hajar Alfarisy )
Konsekuensi dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat eksploitatif yang berlebihan dan pencemaran lingkungan menempatkan ekosistem dalam posisi bahaya. Realitas yang terjadi dan paling dirasakan adalah terabaikannya aspek kelestarian dan keberlanjutan Sumberdaya Alam akibat dari pemanfaatan yang berorientasi pada aspek peningkatan ekonomi / investasi. Sementara masyarakat yang hidup dengan menggantungkan hidupnya dari potensi kekayaan Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati tidak pernah luput dari persoalan kemiskinan dan keterbelakangan.
desain modis logo-2Kepentingan pemanfaatan dengan mudah bisa saja berbelok menjadi eksploitasi sementara kesadaran dan komitmen Pelestarian Sumberdaya Alam sulit untuk dipastikan, yang berdampak pada harmonisasi kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya semakin jauh dari harapan.
Sementara eksistensi kearifan tradisional belum mendapat tempat yang setara dalam paradigma pembangunan yang dikembangkan selama ini, bahkan kecenderungannya terjadi stagnasi yang sengaja diciptakan untuk melemahkan dan mengisolir paradigma yang bertumpu pada kearifan tradisional dalam struktur social, ekonomi, politik, hukum dan kelembagaan yang mengakibatkan terjadinya proses penghancuran kearifan-kearifan tradisional yang ditandai dengan perubahan tatanan social humanis, kemiskinan moral, serta sipat dan sikap ketergantungan yang bermuara pada hilangnya kemandirian dan terdegragasikannya Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati sebagai pendukung kehidupan manusia.
Berangkat dari perspektif dan realitas tersebut memotivasi munculnya suatu keinginan dari beberapa kalangan Non Goverment Organization (NGO), Mahasiswa, Masyarakat serta Akademisi untuk mengaktualisasikan keprihatinan dan kepeduliannya dalam bentuk karya nyata. Kesadaran akan hal tersebut menjadi pijakan yang mendasari terbentuknya WALLACEA sebagai suatu institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas.
Perspektif dan realitas tersebut memotivasi munculnya suatu keinginan dari beberapa kalangan Non Goverment Organization (NGO), Mahasiswa, Masyarakat serta Akademisi untuk mengaktualisasikan keprihatinan dan kepeduliannya dalam bentuk karya nyata. Kesadaran akan hal tersebut menjadi pijakan yang mendasari terbentuknya WALLACEA sebagai suatu institusi yang memiliki dasar hukum yang jelas.
WALLACEA didirikan pada Tanggal 05 Juni 2000, berkedudukan di Kabupaten Luwu atau lebih akrab dikenal dengan nama Bumi Sawerigading yang kemudian di Akta Notariskan pada Tanggal 04 Januari 2001 dengan Nomor Akta 11 oleh Rahayu Sri Dewi, SH, Candidat Notaris pada Kantor Notaris – PPAT Zirmayanto, SH. Dalam perjalanannya WALLACEA kemudian berubah menjadi sebuah perkumpulan yang selanjutnya disebut Perkumpulan WALLACEA Palopo berdasarkan hasil rapat pengurus tertanggal, 15 dan 18 Mei 2010. Hal ini didasari atas perkembangan dan dinamika organisasi yang sekaligus untuk lebih membuka ruang bagi keterlibatan berbagai kalangan serta terciptanya akuntabilitas organisasi
Lihat semua pos dari PERKUMPULAN WALLACEA
membangun potensi sda yg terbaharukan lebih baik daripada kita harus membongkar isi perut bumi yg hanya nikmat sesaat dan menyengsarakan anak cucu kita dimasa datang.
Terimakasih komentarnya, memang perlu merubah cara pandang mengenai pembangunan yang seringkali menjauhi pembangunan yang tidak memikirkan dampak pada masa yang akan datang
membangun potensi sda yg terbaharukan lebih baik daripada kita harus membongkar isi perut bumi yg hanya nikmat sesaat dan menyengsarakan anak cucu kita dimasa datang.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terimakasih komentarnya, memang perlu merubah cara pandang mengenai pembangunan yang seringkali menjauhi pembangunan yang tidak memikirkan dampak pada masa yang akan datang
SukaSuka